| 5.362 Views
Jakarta (ANTARA News) - Aturan pelarangan domisili usaha menggunakan virtual office atau kantor virtual yang segera diberlalukan akan menghambat perkembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan para wirausaha pemula yang baru memulai usahanya.
"Virtual office adalah solusi yang legal bagi pengusaha pemula, start-up, dan UMKM. Kita menyayangkan sikap pemerintah yang diskriminatif terhadap keberadaan virtual office," kata Koordinator Focus Group Virtual Office Bimo Prasetio di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan ada sejumlah aturan tertulis dan kebijakan tidak tertulis yang mempersulit proses pendirian badan usaha dan perizinan bila domisili usahanya di virtual office.
"Aturan dan kebijakan tersebut justru kontraproduktif dengan keinginan pemerintah untuk memperbanyak jumlah wirausaha dan UMKM yang ingin memiliki legalitas usaha," kata dia.
Aturan itu adalah Surat Edaran Kepala Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPTSP) Jakarta No. 41/SE/Tahun 2015 tanggal 2 November 2015 tentang Surat Keterangan Domisili Badan Usaha untuk Badan Usaha yang Berkantor Virtual (Virtual Office) dan Izin Lanjutannya.
Aturan itu menyebutkan surat keterangan domisili badan usaha yang berkantor virtual dapat diterbitkan dengan ketentuan penandatanganan dilakukan paling lama sampai 31 Desember 2015.
"Ditentukan pula bahwa untuk izin lanjutan bagi mereka yang berkantor virtual, hanya SIUP dan TDP yang dapat diterbitkan. Itu pun batas waktunya hanya sampai 31 Desember 2015," kata Bimo.
Menurut dia, keberadaan virtual office di kota-kota besar di Indonesia telah mendorong tumbuh pesatnya jumlah wirausaha dan UMKM di Indonesia.
"Virtual office berperan penting dalam menyediakan domisili usaha yang legal, jelas, dengan biaya yang terjangkau untuk mereka yang ingin memulai bisnis," kata dia.
Domisili usaha yang legal (domisili hukum) adalah basis dari penerbitan izin-izin lainnya, baik yang bersifat umum maupun khusus.
Untuk memulai usaha yang legal biasanya dimulai dengan mendirikan badan usaha PT atau CV kemudian kelengkapan dokumen legalitas lainnya yakni NPWP, SIUP, dan TDP.
Bimo mengatakan, Peraturan Daerah yang melarang penggunaan rumah sebagai domisili usaha, membuat banyak pengusaha baru kesulitan dalam mendapatkan domisili hukum, sedangkan menyewa ruang perkantoran memerlukan biaya besar.
"Keberadaan virtual office untuk mendukung berkembangnya ekosistem wirausaha dan UMKM kerap disalahartikan oleh pemerintah," katanya.
PTSP akan menunggu peraturan dari Menteri Perdagangan.
Menurut Bimo, surat Kepala BPTSP itu menuai berbagai pertanyaan dan keberatan oleh pengelola virtual office.
Sekitar 20-an perwakilan pengelola virtual office yang hadir dalam forum virtual office di Jakarta yang diinisiasi oleh Easybiz pada 19 November 2015 menyayangkan surat edaran tersebut.
Menurut mereka aturan tersebut lahir karena kurang pahamnya aparat pemerintah mengenai keberadaan virtual office sehingga dalam praktik di lapangan banyak kebijakan diskriminatif terhadap virtual office.
Padahal, selain membantu pengusaha pemula yang kemampuan modalnya terbatas untuk menyewa ruang kantor, virtual office juga membantu menambah penerimaan negara dari pajak.
Para pengelola berencana segera melakukan audiensi ke Menteri Perdagangan, Menteri Koperasi dan UKM, Badan Ekonomi Kreatif, dan Gubernur DKI.
"Audiensi dimaksudkan untuk memberi penjelasan yang komprehensif mengenai bisnis dan peran virtual office dalam mendukung ekosistem wirausaha dan UMKM di Indonesia," kata Bimo.
"Virtual office adalah solusi yang legal bagi pengusaha pemula, start-up, dan UMKM. Kita menyayangkan sikap pemerintah yang diskriminatif terhadap keberadaan virtual office," kata Koordinator Focus Group Virtual Office Bimo Prasetio di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan ada sejumlah aturan tertulis dan kebijakan tidak tertulis yang mempersulit proses pendirian badan usaha dan perizinan bila domisili usahanya di virtual office.
"Aturan dan kebijakan tersebut justru kontraproduktif dengan keinginan pemerintah untuk memperbanyak jumlah wirausaha dan UMKM yang ingin memiliki legalitas usaha," kata dia.
Aturan itu adalah Surat Edaran Kepala Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPTSP) Jakarta No. 41/SE/Tahun 2015 tanggal 2 November 2015 tentang Surat Keterangan Domisili Badan Usaha untuk Badan Usaha yang Berkantor Virtual (Virtual Office) dan Izin Lanjutannya.
Aturan itu menyebutkan surat keterangan domisili badan usaha yang berkantor virtual dapat diterbitkan dengan ketentuan penandatanganan dilakukan paling lama sampai 31 Desember 2015.
"Ditentukan pula bahwa untuk izin lanjutan bagi mereka yang berkantor virtual, hanya SIUP dan TDP yang dapat diterbitkan. Itu pun batas waktunya hanya sampai 31 Desember 2015," kata Bimo.
Menurut dia, keberadaan virtual office di kota-kota besar di Indonesia telah mendorong tumbuh pesatnya jumlah wirausaha dan UMKM di Indonesia.
"Virtual office berperan penting dalam menyediakan domisili usaha yang legal, jelas, dengan biaya yang terjangkau untuk mereka yang ingin memulai bisnis," kata dia.
Domisili usaha yang legal (domisili hukum) adalah basis dari penerbitan izin-izin lainnya, baik yang bersifat umum maupun khusus.
Untuk memulai usaha yang legal biasanya dimulai dengan mendirikan badan usaha PT atau CV kemudian kelengkapan dokumen legalitas lainnya yakni NPWP, SIUP, dan TDP.
Bimo mengatakan, Peraturan Daerah yang melarang penggunaan rumah sebagai domisili usaha, membuat banyak pengusaha baru kesulitan dalam mendapatkan domisili hukum, sedangkan menyewa ruang perkantoran memerlukan biaya besar.
"Keberadaan virtual office untuk mendukung berkembangnya ekosistem wirausaha dan UMKM kerap disalahartikan oleh pemerintah," katanya.
PTSP akan menunggu peraturan dari Menteri Perdagangan.
Menurut Bimo, surat Kepala BPTSP itu menuai berbagai pertanyaan dan keberatan oleh pengelola virtual office.
Sekitar 20-an perwakilan pengelola virtual office yang hadir dalam forum virtual office di Jakarta yang diinisiasi oleh Easybiz pada 19 November 2015 menyayangkan surat edaran tersebut.
Menurut mereka aturan tersebut lahir karena kurang pahamnya aparat pemerintah mengenai keberadaan virtual office sehingga dalam praktik di lapangan banyak kebijakan diskriminatif terhadap virtual office.
Padahal, selain membantu pengusaha pemula yang kemampuan modalnya terbatas untuk menyewa ruang kantor, virtual office juga membantu menambah penerimaan negara dari pajak.
Para pengelola berencana segera melakukan audiensi ke Menteri Perdagangan, Menteri Koperasi dan UKM, Badan Ekonomi Kreatif, dan Gubernur DKI.
"Audiensi dimaksudkan untuk memberi penjelasan yang komprehensif mengenai bisnis dan peran virtual office dalam mendukung ekosistem wirausaha dan UMKM di Indonesia," kata Bimo.
Editor: Jafar M Sidik
sumber
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar